Pencantuman Informasi Pada Label Produk Kosmetik Oleh Pelaku Usaha Dikaitkan Dengan Hak Konsumen
Journal Title: Syiah Kuala Law Journal - Year 2018, Vol 2, Issue 1
Abstract
Pasal 8 ayat (1) huruf i Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) menyatakan adanya perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha, yaitu “tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat samping, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku.” Pasal 23 Ayat (1) Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor HK.00.05.4.1745 Tahun 2003 tentang Kosmetik merinci informasi yang wajib dicantumkan pada label suatu produk kosmetik yaitu nama produk, nama dan alamat produsen atau importir/penyalur, ukuran isi atau berat bersih, Komposisi dengan nama bahan sesuai dengan kodeks kosmetik Indonesia atau nomenklatur lainnya yang berlaku, nomor izin edar, nomor batch/kode produksi, kgunaan dan cara penggunaan kecuali untuk produk yang sudah jelas penggunaannya, bulan dan tahun kadaluarsa bagi produk yang stabilitasnya kurang dari 30 bulan, penandaan lain yang berkaitan dengan keamanan dan atau mutu. Kenyataannya, masih banyak beredar produk kosmetik yang tidak mencantumkan informasi tersebut secara lengkap pada label produk, sehingga produk tersebut tidak layak untuk diedarkan dan dikonsumsi oleh masyarakat. Hal ini tentu saja bertentangan dengan ketentuan UUPK dan melanggar hak-hak konsumen sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 4 UUPK. Pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha yaitu tidak mencantumkannya informasi sesuai ketentuan peraturan perundangan-undangan pada label kosmetik. Selain itu bagi pelaku usaha klinik kecantikan, diperbolehkan tidak mencantumkan informasi pada label produk, akan tetapi harus memenuhi persyaratan yaitu pada klinik tersebut harus ada dokter spesialis kecantikan yang bertanggung jawab terhadap pasien dan apoteker yang bertanggung jawab terhadap peracikan produk kecantikan. Tanggung jawab Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (BBPOM) Banda Aceh dalam melaksanakan fungsi pengawasan masih belum berjalan secara efektif. Hal ini disebabkan oleh hambatan-hambatan baik eksternal maupun internal, yaitu kantor BBPOM yang hanya ada 1 (satu) di ibukota provinsi dengan cakupan pengawasan seluruh wilayah Aceh, kurangnya sumber daya manusia, perilaku konsumen yang tidak peduli akan haknya, perilaku pelaku usaha yang tidak patuh terhadap peraturan, pengaruh iklan, serta sulitnya pengawasan terhadap toko online.
Authors and Affiliations
Yulia Susantri, Sri Walny Rahayu, Sanusi Bintang
Kewenangan Pengadilan Militer I–01 Banda Aceh Dalam Mengadili Tindak Pidana Umum Yang Dilakukan Oknum Anggota TNI di Aceh
Pasal 25 ayat (4) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yaitu, “Peradilan militer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana militer sesuai...
Penggunaan Laporan Penelitian Kemasyarakatan Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak Oleh Hakim
Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Pasal 60 ayat (3) “Hakim wajib mempertimbangkan laporan penelitian kemasyarakatan dari Pembimbing Kemasyarakatan sebelum menjatuhkan putusan perkara”,...
Penetapan Kerugian Negara Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi
Adanya kerugian negara pada sebuah perkara dan besaran nilai kerugian merupakan hal yang sangat penting, saat ini masih terdapat polemik, baik pada alat bukti yang dihadirkan maupun penafsiran tentang “kerugian negara”....
Implementasi Struktur dan Kedudukan Kelompok Kerja Pada Unit Layanan Pengadaan Aceh
Menurut Perpres Nomor 54 Tahun 2010 dan Gubernur Nomor 4 Tahun 2015 Tentang Pembentukan Unit Layanan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Aceh, di dalam pasal 17 disebutkan untuk menjadi pokja harus Aparatur Negeri Sipil (AS...
Kajian Yuridis Pelaksanaan Penghapusan Jaminan Fidusia Secara Elektronik
Pendaftaran jaminan fidusia seharusnya diakhiri dengan penghapusan jaminan fidusia. Hal ini berguna untuk mengembalikan hak pemberi jaminan fidusia atas obyek jaminan fidusia yang sebelumnya diserahkan secara kepercayaan...